Wednesday, May 30, 2012

Bani Buwaih



Di negeri Dailam hiduplah seorang lelaki miskin yang bekerja sebagai nelayan bernama Buwaih. Ibnu Tabatiba mengatakan bahwa Abu Syuja’ Buwaih, bapaknya dan kakeknya adalah seperti lain-lain rakyat yang miskin di negeri Dailam. Buwaih mempunyai tiga orang anak lelaki yaitu Ali, al-Hasan dan Ahmad. Mereka ini menjadikan lapangan ketentaraan sebagai mata pencaharian, dan telah bergabung dengan tentara Makan bin Kali, salah seorang panglima terkenal di Dailam. Mereka telah membuktikan kecakapan yang tinggal di dalam tugas masing-masing, sehingga askar-askar yang terkemuka.
  Makan bin Kali adalah panglima kedua di Dailam sesudah Laila bin an-Nu’man yang menjadi panglima pertama. Kemudian salah seorang bawahannya bernama Asfar bin Syiruwaih telah berkhianat dan namanya terus menjadi terkenal. Asfar telah dibantu oleh seorang panglima lain, bernama Mardawij bin Ziar. Mereka telah berhasil memperoleh kemenangan menentang Makan. Tetapi Asfar telah terbunuh pada tahun 316 H dan dengan itu kekuasaannya berpindah kepada Mardaqij dan saudaranya Wasyamkir.
Sementara itu anak-anak Buwaih telah berpihak kepada Mardawij setelah Makan mengalami kekalahan dengan dalih untuk membantu meringankan beban Makan. Ali bin Buwaih bertugas memerintah wilayah Karkh. Mardawij juga telah menugaskan al-Hasan bun Buwaih dan saudaranya Ahmad dengan jabatan-jabatan pentadbir wilayah-wilayah penting.
Setibanya di Karkh, Ali bin Buwaih telah berhasil mempengaruhi pemimpin-pemimpin dan panglima-panglima di wilayah tersebut dengan kebaikan dan toleransinya. Mardawij merasa bimbang dengan keadaan ini karena kerajaannya akan terancam. Hal ini mendorong Ali bin Buwaih untuk memperkuat kedudukannya dan membuat persiapan untuk menghadapi tuannya. Ali telah meluaskan pemerintahannya dengan menaklukkan Asfahan, kemudian dengan pertolongan kedua saudaranya ia menaklukkan Syiraz pada tahun 322 H dan menjadikannya sebagai pusat mendapatkan restu dari Mardawij serta tetap menganggap Mardawij sebagai tuannya dan menyerahkan saudaranya al-Hasan sebagai tebusan kepada Mardawij.
Sesudah itu terbukalah dengan luas pintu kemenangan bagi Bani Buwaih. Al-Hasan telah berhasil menaklukkan Raiyi, Hamadan dan negeri Parsi seluruhnya pada tahun itu juga. Ahmad telah berhasil menaklukkan Karman. Sementara Ali telah menyerang dan menaklukkan Ahwaz, kemudian Wasit. Dengan itu kekuasaan Bani Buwaih telah meliputi satu kawasan besar milik pemerintahan Abbasiyah. Perpecahan terjadi ketika Bani Buwaih itu dengan semaunya sendiri membagi-bagi daerah kekuasaan. Jika mereka dapat bekerjasama dengan baik dengan tidak membagi-bagi wilayah kekuasaan semaunya sendiri, tentu saja perpecahan ini tidak akan terjadi. Setelah menyimak kisah Bani Buwaih diatas, dibawah ini adalah peristiwa-peristiwa terpenting di zaman Bani Buwaih:
1.      Baghdad dan Siraz
Di zaman Bani Buwaih, Baghdad kehilangan kepentingannya dari segi politik yang mana telah berpindah ke Syiraz, tempat bermukimnya Ali bin Buwaih yang bergelar Imadud Daulah dan menikmati kekuasaan tertinggi di dalam kerajaan ke Baghdad dan telah direbut oleh generasi Bani Buwaih berikutnya. Pengaruh Baghdad dari segi agama juga semakin pupus, disebabkan perselisihan mazhab di antara khalifah-khalifah dai Bani Buwaih.
2.      Ikhwanus Safaa
Di zaman tersebut muncul kumpulan Ihkhwanus Safaa yang mengamalkan berbagai falsafah dan hikmat yang dikatakan bersumber dari mereka.
3.      Negeri-Negeri yang Memisahkan Din di Zaman Bani Buwaih
Beberapa kerajaan yang memisahkan diri dari Zaman Bani Buwaih adalah kerajaan Imran bin Syahin di Batinah, kerajaan Najahiyah di Yaman, kerajaan ‘Uqailiyah di Mausil, kerajaan kaum Kurd di Diar Bakr, kerajaan Mirdasiyah di Aleppo, kerajaan Samaniyah di seberang sungai dan di Khurasan dan kerajaan Saktikiyah di Ghaznah.
4.      Perselisihan Mazhab
Bani Buwaih adalah penyebar mazhab Syi’ah sedangkan rakyat Baghdad dimana tempat Bani Buwaih memimpin bermazhab Ahlus-Sunnah. Rakyat Baghdad tidak mencoba untuk menentang kemauan pihak yang berkuasa. Meskipun demikian tetap pula menimbulkan ketegangan dan kegelisahan di hati para rakyat Baghdad.
Sumber:
Syalabi, A. 2008. Sejarah dan Kebudayaan Islam 3. Jakarta: Pustaka Al-Husna Baru.

1 comment: