Di
negeri Dailam hiduplah seorang lelaki miskin yang bekerja sebagai nelayan
bernama Buwaih. Ibnu Tabatiba mengatakan bahwa Abu Syuja’ Buwaih, bapaknya dan kakeknya
adalah seperti lain-lain rakyat yang miskin di negeri Dailam. Buwaih mempunyai
tiga orang anak lelaki yaitu Ali, al-Hasan dan Ahmad. Mereka ini menjadikan
lapangan ketentaraan sebagai mata pencaharian, dan telah bergabung dengan
tentara Makan bin Kali, salah seorang panglima terkenal di Dailam. Mereka telah
membuktikan kecakapan yang tinggal di dalam tugas masing-masing, sehingga
askar-askar yang terkemuka.
Makan bin Kali adalah panglima kedua di
Dailam sesudah Laila bin an-Nu’man yang menjadi panglima pertama. Kemudian
salah seorang bawahannya bernama Asfar bin Syiruwaih telah berkhianat dan
namanya terus menjadi terkenal. Asfar telah dibantu oleh seorang panglima lain,
bernama Mardawij bin Ziar. Mereka telah berhasil memperoleh kemenangan menentang
Makan. Tetapi Asfar telah terbunuh pada tahun 316 H dan dengan itu kekuasaannya
berpindah kepada Mardaqij dan saudaranya Wasyamkir.
Sementara
itu anak-anak Buwaih telah berpihak kepada Mardawij setelah Makan mengalami
kekalahan dengan dalih untuk membantu meringankan beban Makan. Ali bin Buwaih
bertugas memerintah wilayah Karkh. Mardawij juga telah menugaskan al-Hasan bun
Buwaih dan saudaranya Ahmad dengan jabatan-jabatan pentadbir wilayah-wilayah
penting.
Setibanya
di Karkh, Ali bin Buwaih telah berhasil mempengaruhi pemimpin-pemimpin dan
panglima-panglima di wilayah tersebut dengan kebaikan dan toleransinya.
Mardawij merasa bimbang dengan keadaan ini karena kerajaannya akan terancam.
Hal ini mendorong Ali bin Buwaih untuk memperkuat kedudukannya dan membuat
persiapan untuk menghadapi tuannya. Ali telah meluaskan pemerintahannya dengan
menaklukkan Asfahan, kemudian dengan pertolongan kedua saudaranya ia
menaklukkan Syiraz pada tahun 322 H dan menjadikannya sebagai pusat mendapatkan
restu dari Mardawij serta tetap menganggap Mardawij sebagai tuannya dan
menyerahkan saudaranya al-Hasan sebagai tebusan kepada Mardawij.
Sesudah
itu terbukalah dengan luas pintu kemenangan bagi Bani Buwaih. Al-Hasan telah
berhasil menaklukkan Raiyi, Hamadan dan negeri Parsi seluruhnya pada tahun itu
juga. Ahmad telah berhasil menaklukkan Karman. Sementara Ali telah menyerang
dan menaklukkan Ahwaz, kemudian Wasit. Dengan itu kekuasaan Bani Buwaih telah
meliputi satu kawasan besar milik pemerintahan Abbasiyah. Perpecahan terjadi ketika
Bani Buwaih itu dengan semaunya sendiri membagi-bagi daerah kekuasaan. Jika
mereka dapat bekerjasama dengan baik dengan tidak membagi-bagi wilayah
kekuasaan semaunya sendiri, tentu saja perpecahan ini tidak akan terjadi. Setelah
menyimak kisah Bani Buwaih diatas, dibawah ini adalah peristiwa-peristiwa
terpenting di zaman Bani Buwaih:
1.
Baghdad
dan Siraz
Di zaman Bani Buwaih, Baghdad kehilangan
kepentingannya dari segi politik yang mana telah berpindah ke Syiraz, tempat
bermukimnya Ali bin Buwaih yang bergelar Imadud Daulah dan menikmati kekuasaan
tertinggi di dalam kerajaan ke Baghdad dan telah direbut oleh generasi Bani
Buwaih berikutnya. Pengaruh Baghdad dari segi agama juga semakin pupus,
disebabkan perselisihan mazhab di antara khalifah-khalifah dai Bani Buwaih.
2.
Ikhwanus
Safaa
Di zaman tersebut muncul kumpulan Ihkhwanus Safaa
yang mengamalkan berbagai falsafah dan hikmat yang dikatakan bersumber dari
mereka.
3.
Negeri-Negeri
yang Memisahkan Din di Zaman Bani Buwaih
Beberapa kerajaan yang memisahkan diri dari Zaman
Bani Buwaih adalah kerajaan Imran bin Syahin di Batinah, kerajaan Najahiyah di
Yaman, kerajaan ‘Uqailiyah di Mausil, kerajaan kaum Kurd di Diar Bakr, kerajaan
Mirdasiyah di Aleppo, kerajaan Samaniyah di seberang sungai dan di Khurasan dan
kerajaan Saktikiyah di Ghaznah.
4.
Perselisihan
Mazhab
Bani Buwaih adalah penyebar mazhab Syi’ah sedangkan
rakyat Baghdad dimana tempat Bani Buwaih memimpin bermazhab Ahlus-Sunnah.
Rakyat Baghdad tidak mencoba untuk menentang kemauan pihak yang berkuasa.
Meskipun demikian tetap pula menimbulkan ketegangan dan kegelisahan di hati
para rakyat Baghdad.
Sumber:
Syalabi, A. 2008. Sejarah dan Kebudayaan Islam 3. Jakarta: Pustaka Al-Husna Baru.
ae
ReplyDelete